0
Negeriku, tak seperti dulu
“Kring..kring..siomay..siomay”.
Begitulah cara ayah mempromosikan dagangannya dengan suara bel kecil yang
dibelinya dari tukang es krim kenalannya dan dengan suara pas-pasannya dia
berkeliling hamoir tiap hari karena di hari minggu dia selalu menyempatkan diri
untuk menghabiskan waktunya dengan kami, keluarganya.
Sepulangnya
Ayah berjualan, aku selalu menanyakan atau lebih tepatnya mendahului Ibuku
untuk bertanya tentang penjualannya. “Gimana yah, hasil jualannya laris abis?”.
“Alhamdulillah nak, masih cukup buat kita makan enak”. Selalu itu yang
dijawabnya. Aku tidak pernah memaksanya untuk menjawab lebih detail karena
dengan mendengar seperti itu, rasanya sudah seperti makan enak betulan, walau
hanya tempe dan sayur biasa, yang penting bisa dimakan. Di dalam kamar ada foto
yang dulu sering aku tanyakan. “Itu foto siapa, yah? dulu pas ayah muda?”.
Sekali lagi ayah hanya menjawab dengan kata-kata seadanya dan senyuman tanpa
pernah diiringi kembali oleh pertanyaanku. Suatu ketika aku beranikan diri
untuk bertanya kepada Ibuku tentang siapa sosok di foto tersebut dan aku
menemukan jawaban yang aku sendiri sangat kaget dibuatnya. Ternyata foto
laki-laki bersarung tinju yang sedang digendong oleh pria berleherkan handuk kecil
berumuran lebih tua darinya yang menandakan bahwa yang menggendong ayahku
adalah pelatihnya. Ternyata ayahku dulu adalah seorang petinju, petinju yang
sangat “berbahaya” di zamannya. Sudah
beberapa gelar dia raih dan pergi begitu saja hanya karena satu faktor, cidera
permanen. Dia tidak bisa menggunakan tangan saktinya lagi setelah kecelakaan
motor yang menimpanya. Tangannya patah dan hampir saja diamputasi. Saat sembuh
sudah menghampirinya, kekalahan demi kekalahan dia raih beserta perginya gelar
yang dia dapatkan dengan susah payah.
“Ayah,
kenapa nggak terusin jadi peninju lagi, sih yah? Atau ngelatih tinju?” Tanyaku
di sela-sela makan bareng dengan ibuku.”Ayah udah sadar, kalau tinju itu nggak
baik, emosi jadi andalan utama. Ayah nggak mau ngeliat orang dipukul-pukul
lagi, ndah.” Sahut ayahku sambil mengelus-elus rambut panjangku. Padahal bisa
dibilang dia salah satu atlet yang menjelma sebagai pahlawan nasional di
zamannya. Beserta atlet-atlet lainnya, dia pernah mengharumkan nama Indonesia
dengan mengalahkan juara bertahan kelas berat asal Inggris, Mark Cleverley.
Mungkin tidak ada yang pernah mengingatnya, mungkin juga jika saat ini, ayah
sudah melebihi Chris John. “Yang penting
kita bisa hidup normal dan bisa sekolahin kamu, ndah”. Berbagai macam petuah
sudah ayah sampaikan padaku, Indah, anak perempuan berumur sepuluh tahun dan
satu-satunya anak dari pasangan Boby Maryono atau dulu sering dijuluki Bob si tangan petir dan Siti Jubaedah.
Setelah
kekalahan dan merenggut juara nasionalnya, ayah memilih untuk berhenti total
dari olahraga tinju dan mencari pekerjaan apapun yang penting halal. Hal lain
yang mendukung pemberhentiannya adalah tidak adanya perhatian dari kawan-kawan tinju
lamanya. Mantan pelatihnya pun sempat terkena pukulan Ayah karena dia dianggap
berkhianat tidak memberinya kesempatan lagi. Selain itu orang-orang sekitar
sudah mulai menghiraukan keberadaannya dan bisa ditebak setelahnya, Ayah
diberhentikan secara paksa. Dengan modal uang bonus yang pernah dia dapatkan
selama berkarier di bidang tinju, Ayah memulai usahanya sendiri. Dua tahun
mencoba berbisnis berjualan makanan seafood
dan gagal. Dua tahun dia bekerja di pom bensin sebagai karyawan dan berhenti
gara-gara tempat dia bekerja bangkrut sehingga dia harus memenuhi PHK yang
diberikan padanya. Selanjutnya, baru dia memulai berjualan siomay hingga
sekarang. Akan tetapi, misteri kenapa dia memilih untuk berjualan siomay hingga
sekarang belum terpecahkan olehku, yang jelas, banyak sekali atlet-atlet yang
pernah menjadi pahlawan di masanya bernasib lebih buruk dari Ayahku. Ayah
pernah mengajakku untuk bertemu kawan lamanya, Budiarjo yang ternyata pernah
mengharumkan nama Indonesia juga di ajang internasional. Walaupun bukan atlet
tinju juga, tetapi beberapa medali emas dia torehkan untuk Indonesia di bidang
bulu tangkis. Pak Budiarjo bernasib sama, berjualan batagor dan sering
berjualan bersama Ayah.
Pak
Budiarjo juga sering memberikanku petuah-petuah yang untuk anak seumuranku
masih terlalu dini mungkin untuk mendengarnya. “Negara ini sekarang udah enak,
nak. Mau apa tinggal pakai internet. Mau kemana-mana udah ada transportasi.
Zaman dulu, mah nggak ada yang namanya ke warung, ke mesjid, sekolah, pakai
motor atau mobil. Dua puluh kilo juga jalan kaki. Mangkannya atlet-atlet zaman
dulu hebat-hebat, hehe..” sembari bercanda Pak Budiarjo menepuk-nepuk pundakku
dengan pelan dan setelah itu aku ditinggalkannya untuk mengobrol dengan Ayahku,
seperti Ibu yang sedang ngerumpi dengan teman-temannya saat belanja sayur saja
mereka. Sepulangnya dari rumah Pak Budiarjo, Ayah memanggilku untuk bercerita
panjang lebar, terutama tentang masa lalunya (lagi). Walaupun sudah agak bosan,
tapi aku masih penasaran mungkin saja ada part-part yang aku lewatkan, tapi
ternyata hanya ujungnya saja yang berbeda. “Negara ini udah berubah, ndah,
mungkin terlalu banyak yang berubah sampai-sampai lupa jati dirinya, lupa
budayanya, lupa anak-anak mudanya, bahkan pernah lupa kalau Negara ini punya
pemimpin. Kamu yang masih kecil, nanti kalau sudah besar dan sukses, jangan
terlalu ikut arus, ya. Jangan sampai lupa kamu itu dulunya gimana. Dulu masih
enak ngelawan penjajah dari luar aja, kalau sekarang kita udah ngelawan bangsa
sendiri, jadi diri sendiri aja udah susah”, ucapnya sambil mengunyah tempe goring
yang baru saja dibuat Ibu. “Ada untungnya juga sih Ayah jadi petinju, jadi
nggak gampang capek kalau keliling-keliling jualan siomay biarpun umur ayah
sekarang ini udah 52, tapi nggak ada tua-tuanya, kan.”, dengan muka yang kebingungan
aku balik bertanya, “maksudnya kita melawan bangsa sendiri apa, yah?bukannya
kata Pak Budiarjo tadi zaman sekarang udah enak? udah serba ada?”. “Dulu, kita pakai
bambu runcing aja udah bisa ngusir penjajah, ndah. Kalau sekarang kita melawan globalisasi aja udah banyak yang terlena”.
Belum sempat ku balik bertanya, ternyata dia sudah membaca pikiranku. “Kamu
nggak usah nanya apa itu globalisasi,
nanti kalau kamu udah besar, kamu bakal ngerti apa yang pernah Ayah bilang ke
kamu, ndah.”.Kata-kata itu yang paling dan akan selalu aku ingat diantara
petuah-petuah lainnya.
Hari demi
hari, hingga tahun berganti tahun. Program Ayah untuk menyekolahkanku akhirnya
terealisasikan. Hingga kuputuskan untuk
membiayai kuliah dengan uangku sendiri. Mulai dari mengajar privat,
menjadi penjaga toko, mendafar beasiswa, dan berbagai macam lainnya telah aku
lakukan agar aku tidak meminta uang kepada orang tuaku lagi. Bisa dibiang aku
anti mainstream dimana anak-anak
seumuranku malah kebanyakan mencari “ladang bermain” di Mall, Warnet, café-café, sedangkan aku dari rumah ke
rumah orang tua yang sedang membutuhkan pengajar untuk anaknya, dari toko-ke
toko, bahkan dari tukang fotocopy ke fotocopy untuk mengurusi beasiswa. Dengan
ajaran ayah yang selalu membanjiri pikiranku hampir setiap hari, aku belajar
untuk tidak gampang menyerah dengan keadaan. Belajar untuk menjadi diri sendiri
diantara diri orang lain. Berusaha untuk tetap berdiri saat yang lain duduk di
depan media sosial. Susah memang, tapi kenikmatan yang didapat lebih dari “proses
untuk menjadi diri sendiri” itu.
Post a Comment