0

Negeriku, tak seperti dulu

Posted by Arfi_Prasetya on 8:29 AM in ,


“Kring..kring..siomay..siomay”. Begitulah cara ayah mempromosikan dagangannya dengan suara bel kecil yang dibelinya dari tukang es krim kenalannya dan dengan suara pas-pasannya dia berkeliling hamoir tiap hari karena di hari minggu dia selalu menyempatkan diri untuk menghabiskan waktunya dengan kami, keluarganya.
Sepulangnya Ayah berjualan, aku selalu menanyakan atau lebih tepatnya mendahului Ibuku untuk bertanya tentang penjualannya. “Gimana yah, hasil jualannya laris abis?”. “Alhamdulillah nak, masih cukup buat kita makan enak”. Selalu itu yang dijawabnya. Aku tidak pernah memaksanya untuk menjawab lebih detail karena dengan mendengar seperti itu, rasanya sudah seperti makan enak betulan, walau hanya tempe dan sayur biasa, yang penting bisa dimakan. Di dalam kamar ada foto yang dulu sering aku tanyakan. “Itu foto siapa, yah? dulu pas ayah muda?”. Sekali lagi ayah hanya menjawab dengan kata-kata seadanya dan senyuman tanpa pernah diiringi kembali oleh pertanyaanku. Suatu ketika aku beranikan diri untuk bertanya kepada Ibuku tentang siapa sosok di foto tersebut dan aku menemukan jawaban yang aku sendiri sangat kaget dibuatnya. Ternyata foto laki-laki bersarung tinju yang sedang digendong oleh pria berleherkan handuk kecil berumuran lebih tua darinya yang menandakan bahwa yang menggendong ayahku adalah pelatihnya. Ternyata ayahku dulu adalah seorang petinju, petinju yang sangat “berbahaya” di zamannya.  Sudah beberapa gelar dia raih dan pergi begitu saja hanya karena satu faktor, cidera permanen. Dia tidak bisa menggunakan tangan saktinya lagi setelah kecelakaan motor yang menimpanya. Tangannya patah dan hampir saja diamputasi. Saat sembuh sudah menghampirinya, kekalahan demi kekalahan dia raih beserta perginya gelar yang dia dapatkan dengan susah payah.
“Ayah, kenapa nggak terusin jadi peninju lagi, sih yah? Atau ngelatih tinju?” Tanyaku di sela-sela makan bareng dengan ibuku.”Ayah udah sadar, kalau tinju itu nggak baik, emosi jadi andalan utama. Ayah nggak mau ngeliat orang dipukul-pukul lagi, ndah.” Sahut ayahku sambil mengelus-elus rambut panjangku. Padahal bisa dibilang dia salah satu atlet yang menjelma sebagai pahlawan nasional di zamannya. Beserta atlet-atlet lainnya, dia pernah mengharumkan nama Indonesia dengan mengalahkan juara bertahan kelas berat asal Inggris, Mark Cleverley. Mungkin tidak ada yang pernah mengingatnya, mungkin juga jika saat ini, ayah sudah melebihi Chris John.  “Yang penting kita bisa hidup normal dan bisa sekolahin kamu, ndah”. Berbagai macam petuah sudah ayah sampaikan padaku, Indah, anak perempuan berumur sepuluh tahun dan satu-satunya anak dari pasangan Boby Maryono atau dulu sering dijuluki Bob si tangan petir dan Siti Jubaedah.
Setelah kekalahan dan merenggut juara nasionalnya, ayah memilih untuk berhenti total dari olahraga tinju dan mencari pekerjaan apapun yang penting halal. Hal lain yang mendukung pemberhentiannya adalah tidak adanya perhatian dari kawan-kawan tinju lamanya. Mantan pelatihnya pun sempat terkena pukulan Ayah karena dia dianggap berkhianat tidak memberinya kesempatan lagi. Selain itu orang-orang sekitar sudah mulai menghiraukan keberadaannya dan bisa ditebak setelahnya, Ayah diberhentikan secara paksa. Dengan modal uang bonus yang pernah dia dapatkan selama berkarier di bidang tinju, Ayah memulai usahanya sendiri. Dua tahun mencoba berbisnis berjualan makanan seafood dan gagal. Dua tahun dia bekerja di pom bensin sebagai karyawan dan berhenti gara-gara tempat dia bekerja bangkrut sehingga dia harus memenuhi PHK yang diberikan padanya. Selanjutnya, baru dia memulai berjualan siomay hingga sekarang. Akan tetapi, misteri kenapa dia memilih untuk berjualan siomay hingga sekarang belum terpecahkan olehku, yang jelas, banyak sekali atlet-atlet yang pernah menjadi pahlawan di masanya bernasib lebih buruk dari Ayahku. Ayah pernah mengajakku untuk bertemu kawan lamanya, Budiarjo yang ternyata pernah mengharumkan nama Indonesia juga di ajang internasional. Walaupun bukan atlet tinju juga, tetapi beberapa medali emas dia torehkan untuk Indonesia di bidang bulu tangkis. Pak Budiarjo bernasib sama, berjualan batagor dan sering berjualan bersama Ayah.
Pak Budiarjo juga sering memberikanku petuah-petuah yang untuk anak seumuranku masih terlalu dini mungkin untuk mendengarnya. “Negara ini sekarang udah enak, nak. Mau apa tinggal pakai internet. Mau kemana-mana udah ada transportasi. Zaman dulu, mah nggak ada yang namanya ke warung, ke mesjid, sekolah, pakai motor atau mobil. Dua puluh kilo juga jalan kaki. Mangkannya atlet-atlet zaman dulu hebat-hebat, hehe..” sembari bercanda Pak Budiarjo menepuk-nepuk pundakku dengan pelan dan setelah itu aku ditinggalkannya untuk mengobrol dengan Ayahku, seperti Ibu yang sedang ngerumpi dengan teman-temannya saat belanja sayur saja mereka. Sepulangnya dari rumah Pak Budiarjo, Ayah memanggilku untuk bercerita panjang lebar, terutama tentang masa lalunya (lagi). Walaupun sudah agak bosan, tapi aku masih penasaran mungkin saja ada part-part yang aku lewatkan, tapi ternyata hanya ujungnya saja yang berbeda. “Negara ini udah berubah, ndah, mungkin terlalu banyak yang berubah sampai-sampai lupa jati dirinya, lupa budayanya, lupa anak-anak mudanya, bahkan pernah lupa kalau Negara ini punya pemimpin. Kamu yang masih kecil, nanti kalau sudah besar dan sukses, jangan terlalu ikut arus, ya. Jangan sampai lupa kamu itu dulunya gimana. Dulu masih enak ngelawan penjajah dari luar aja, kalau sekarang kita udah ngelawan bangsa sendiri, jadi diri sendiri aja udah susah”, ucapnya sambil mengunyah tempe goring yang baru saja dibuat Ibu. “Ada untungnya juga sih Ayah jadi petinju, jadi nggak gampang capek kalau keliling-keliling jualan siomay biarpun umur ayah sekarang ini udah 52, tapi nggak ada tua-tuanya, kan.”, dengan muka yang kebingungan aku balik bertanya, “maksudnya kita melawan bangsa sendiri apa, yah?bukannya kata Pak Budiarjo tadi zaman sekarang udah enak? udah serba ada?”. “Dulu, kita pakai bambu runcing aja udah bisa ngusir penjajah, ndah. Kalau sekarang kita melawan globalisasi aja udah banyak yang terlena”. Belum sempat ku balik bertanya, ternyata dia sudah membaca pikiranku. “Kamu nggak usah nanya apa itu globalisasi, nanti kalau kamu udah besar, kamu bakal ngerti apa yang pernah Ayah bilang ke kamu, ndah.”.Kata-kata itu yang paling dan akan selalu aku ingat diantara petuah-petuah lainnya.
Hari demi hari, hingga tahun berganti tahun. Program Ayah untuk menyekolahkanku akhirnya terealisasikan. Hingga kuputuskan untuk  membiayai kuliah dengan uangku sendiri. Mulai dari mengajar privat, menjadi penjaga toko, mendafar beasiswa, dan berbagai macam lainnya telah aku lakukan agar aku tidak meminta uang kepada orang tuaku lagi. Bisa dibiang aku anti mainstream dimana anak-anak seumuranku malah kebanyakan mencari “ladang bermain” di Mall, Warnet, café-café, sedangkan aku dari rumah ke rumah orang tua yang sedang membutuhkan pengajar untuk anaknya, dari toko-ke toko, bahkan dari tukang fotocopy ke fotocopy untuk mengurusi beasiswa. Dengan ajaran ayah yang selalu membanjiri pikiranku hampir setiap hari, aku belajar untuk tidak gampang menyerah dengan keadaan. Belajar untuk menjadi diri sendiri diantara diri orang lain. Berusaha untuk tetap berdiri saat yang lain duduk di depan media sosial. Susah memang, tapi kenikmatan yang didapat lebih dari “proses untuk menjadi diri sendiri” itu.


|

0 Comments

Post a Comment

Total Pageviews

Followers

Copyright © 2009 CLASSIC All rights reserved. Theme by Laptop Geek. | Bloggerized by FalconHive.