“Kring..kring..siomay..siomay”.
Begitulah cara ayah mempromosikan dagangannya dengan suara bel kecil yang
dibelinya dari tukang es krim kenalannya dan dengan suara pas-pasannya dia
berkeliling hamoir tiap hari karena di hari minggu dia selalu menyempatkan diri
untuk menghabiskan waktunya dengan kami, keluarganya.
Sepulangnya
Ayah berjualan, aku selalu menanyakan atau lebih tepatnya mendahului Ibuku
untuk bertanya tentang penjualannya. “Gimana yah, hasil jualannya laris abis?”.
“Alhamdulillah nak, masih cukup buat kita makan enak”. Selalu itu yang
dijawabnya. Aku tidak pernah memaksanya untuk menjawab lebih detail karena
dengan mendengar seperti itu, rasanya sudah seperti makan enak betulan, walau
hanya tempe dan sayur biasa, yang penting bisa dimakan. Di dalam kamar ada foto
yang dulu sering aku tanyakan. “Itu foto siapa, yah? dulu pas ayah muda?”.
Sekali lagi ayah hanya menjawab dengan kata-kata seadanya dan senyuman tanpa
pernah diiringi kembali oleh pertanyaanku. Suatu ketika aku beranikan diri
untuk bertanya kepada Ibuku tentang siapa sosok di foto tersebut dan aku
menemukan jawaban yang aku sendiri sangat kaget dibuatnya. Ternyata foto
laki-laki bersarung tinju yang sedang digendong oleh pria berleherkan handuk kecil
berumuran lebih tua darinya yang menandakan bahwa yang menggendong ayahku
adalah pelatihnya. Ternyata ayahku dulu adalah seorang petinju, petinju yang
sangat “berbahaya” di zamannya. Sudah
beberapa gelar dia raih dan pergi begitu saja hanya karena satu faktor, cidera
permanen. Dia tidak bisa menggunakan tangan saktinya lagi setelah kecelakaan
motor yang menimpanya. Tangannya patah dan hampir saja diamputasi. Saat sembuh
sudah menghampirinya, kekalahan demi kekalahan dia raih beserta perginya gelar
yang dia dapatkan dengan susah payah.
“Ayah,
kenapa nggak terusin jadi peninju lagi, sih yah? Atau ngelatih tinju?” Tanyaku
di sela-sela makan bareng dengan ibuku.”Ayah udah sadar, kalau tinju itu nggak
baik, emosi jadi andalan utama. Ayah nggak mau ngeliat orang dipukul-pukul
lagi, ndah.” Sahut ayahku sambil mengelus-elus rambut panjangku. Padahal bisa
dibilang dia salah satu atlet yang menjelma sebagai pahlawan nasional di
zamannya. Beserta atlet-atlet lainnya, dia pernah mengharumkan nama Indonesia
dengan mengalahkan juara bertahan kelas berat asal Inggris, Mark Cleverley.
Mungkin tidak ada yang pernah mengingatnya, mungkin juga jika saat ini, ayah
sudah melebihi Chris John. “Yang penting
kita bisa hidup normal dan bisa sekolahin kamu, ndah”. Berbagai macam petuah
sudah ayah sampaikan padaku, Indah, anak perempuan berumur sepuluh tahun dan
satu-satunya anak dari pasangan Boby Maryono atau dulu sering dijuluki Bob si tangan petir dan Siti Jubaedah.
|