0
The Key
Posted by Arfi_Prasetya
on
8:24 AM
“Meeeeoooonnggg…”
“Sebentar
saying, bapak lagi ada kerjaan, nanti sore kamu juga bakal makan enak”. Sahutku
sambil mengelus kucing yang sudah kuanggap anak sendiri. Kucing kampong yang
kuberi nama monki. Aneh bukan, kucing kok diberi nama monyet.

Itulah
alasan mengapa kini kucing kesayanganku menjadi satu-satunya makhluk hidup yang
kumiliki. Orang tuaku bahkan sudah meninggal sejak aku berusia empat tahun.
Kecelakaan mobil saat kami hendak pindah kota mengharap rejeki. Hanya aku yang
selamat tanpa satu tangan yang terjepit saat penyelamatan.
Sudah
dua tiga puh lima tahun berlalu. Sepuluh tahun menyendiri di sebuah panti
asuhan dan sisanya tinggal Tuhan yang menentukan.
Petang menjelang, menjemputku
kembali pulang. “Pak Soki, tadi ada yang nyari, ngga tahu siapa. Laki-laki,
keliatannya masih muda, pakaiannya juga rapih. Pakai jas. Orang kantoran
kayaknya”. Seru tetanggaku yang menginfokan bahwa ada tamu tak diundang yang
sedang mencariku. “Wah, saya ngga pernah punya pelanggan pejabat, bu. Mungkin
salah alamat, tapi makasih bu buat infonya”. Sahutku sambil terheran-heran.
Polisikah?orang yang mau menuntutku kah? Atau memang terkaanku benar. Salah
alamat.
“Assalamualaikum!
Pak Soki. Tolong keluar, pak. Saya butuh bantuan anda!”.
Suara
asing berisik itu membangunkan tidurku. “Aaarrrggghh siapa sih itu, pagi-pagi
uda ngundang emosi!! lagipula ini kan hari minggu. Saya lagi libur, besok saja datang
lagi!!”. “Tolong pak, ini darurat. Saya butuh bantuan anda”. Balas teriakan
laki-laki itu.
Setelah pintu kubuka. Tampang
seorang laki-laki yanga letih namun tetap dengan gaya berpakaian mirip dengan
yang tetanggaku bilang kemarin. Berpakaian jas. Seperti orang kantoran. “Anda
siapa? ada perlu apa datang kemari? Saya lagi libur kerja”.
“Bapak Sogi, tukang kunci itu kan?
Tolong saya pak, saya butuh keahlian anda untuk membukakan sebuah kotak besi.
Kotak berharga yang dua hari lalu saya hilangkan kuncinya. Saya tidak akan
kembali ke rumah hingga saya bisa menemukan pengganti kunci itu. Saya dengar
bapak ahli kunci di daerah sini. Mangkannya saya kesini”.
Setelah
tak tega dengan kondisi pemuda ini, akhirnya aku mempersilahkan masuk ke dalam
rumahku.”Coba ceritakan dengan pelan-pelan apa yang terjadi dan saya hanya
tukang kunci, bukan ahli. Ya, Tuhan. Sudah berapa lama kamu tidak makan?.”
Tanyaku sambil melhat badannya yang kurus kering berselimut jas yang rapih.
“Semenjak
saya tinggalkan rumah, belum menelan sesuap nasi atau makanan apapun. Minum pun
hanya satu botol yang tersisa di dalam mobil.” Dia pun mendekat ke arahku
sambil berbisik. “Saya memiliki bisnis besar. Bisnis yang bisa mengantar saya
menuju orang terkaya dalam waktu lima tahun mungkin. Namun, sebulan yang lalu,
bisnis saya mengalami kerugian besar, Saya bangkrut total, Banyak penyakit yang
mulai menggerogoti badan saya. Yang paling parah kanker paru-paru. Tidak ada
uang lagi untuk berobat, hanya kotak itu yang bisa menolong saya. Untung saja
saya bisa terlepas dari kejaran orang-orang yang menagih hutang saya. Saya kini
hanya tinggal seorang diri. Jika saya meninggal dan kotak itu sudah terbuka,
semua harta milik saya akan saya berikan ke bapak.”
“Apa-apaan
ini. Setelah sudah mulai terbiasa dengan sakit hati sepeninggal istri dan anak.
Kini, aku berurusan dengan utang piutang?”. Tanyaku dalam hati. “Bisnis apa
anda hingga dikejar-kejar orang? Narkoba, hah?”. Sambungku.
“Saya
hanya bisnis tekstil yang beruntung. Omset saya seratus juta per tahun. Banyak
saingan yang ingin menjatuhkan saya dan sekarang benar-benar terjadi. Kotak besi
itu diberikan ibu saya sesaat sebelum dia meninggal. Hanya kotak besi dan rumah
kedua kami yang kecil, Tidak ada warisan apa-apa lagi. Baju yang kini saya
kenakan juga satu-satunya baju paling bagus yang saya punya sekarang. Di kotak
itu tertulis: BUKA DISAAT KEADAAN MENDESAK.” Kotak itu kini ada di bagasi mobil
saya. Berhari-hari saya mencari tukang kunci, namun tidak ada yang mengerti
cara membukanya. Mereka bilang bapak lah mungkin orang satu-satunya yang bisa
menolong saya.”. Pria itu menjelaskan sambil terbatuk-batuk. Parah keliatannya.
Aku
memang bukan hanya bisa membuat kunci, tapi aku juga bisa membukakan pintu atau
apapun yang terkunci dengan rapat. Tapi untuk sebuah kotak besi bahkan itu
misterius?belum pernah aku membayangkannya.
Setelah
memberinya makanan seadanya dan minum yang cukup, aku mengajaknya untuk melihat
seperti apa benda besi yang tertutup rapat itu. Sepuluh menit kemudian kami
sampai di mobilnya. Dan dia segera mengambil kotak besi itu lalu menyerahkannya
kepadaku. Rumit memang karena bentuk lubang kuncinya unik. Dengan alat seadanya
yang kubawa tadi dari rumah, sekuat tenaga akan kubuka kotak itu. Tetap hanya
dengan satu tangan.
Hampir
setengah jam ku berkelahi dengan kotak besi yang menguras tenaga itu.
Dihancurkan pun tidak bisa. Saat aku frustasi dengan kerjaanku, aku melirik
kunci yang terikat dengan leherku. Kunci yang dulu pernah aku buat dengan
iseng. Berebentuk L, dan dengan gabungan kunci lainnya sebagai penambah gerigi.
Kesempatan terakhirku dan….akhirnya TERBUKA!!!.
Wajahku
yang berkeringat dan pemuda yang matanya berair itu pun mengiringi pesta
perayaan dengan terbukanya kotak besi itu. Segera ku lihat apa yang tersimpan
di dalam kotak misterius itu. Kaget. Mungkin sedikit bercampur dengan heran dan
kesal. Setelah setengah jam lebih aku mati-matian membukanya. Hasilnya hanya
sebuah kunci lagi?dan secarik kertas bertuliskan: “JIKA KAU MEMBUKA KOTAK INI,
BERARTI AKU SUDAH MATI DAN KAU PUN HAMPIR MATI. AMBIL KUNCINYA DAN SEGERA BUKA
PINTU RUANGAN YANG ADA DI BAWAH RUMAH”.
Kami
berdua saling bertatapan dengan wajah melas dan terheran-heran. Apa sebenarnya
maksud semua ini.
“Saya
ingat. Dulu ibuku pernah mengatakan bahwa di bawah rumah kedua kami yang kecil
itu, ada sebuah tempat yang bisa mewujudkan segala impian. Entah apapun itu
saya belum pernah mendatanginya, pak”. Entah kenapa wajah yang semula kulihat
lemah dan seperti orang kurang gizi tadi tiba-tiba berubah 180 derajat menjadi
penuh antusias.
“Tidak
ada jalan lain selain…kau tahu maksudku”. Sahutku yang ikut terbawa suasana
antusiasnya.
Sejam
berlalu dan kami sudah menapakkan kaki di depan rumah pemuda itu. Pemuda yang
lupa kutanyakan siapa namanya.
“Sudah
hampir setengah hari kita bertemu dan seperti detektif yang memecahkan kasus.
Tapi aku lupa menanyakan namamu, nak.”
“Kenny,
pak. Panggil saja saya Kenny. Maaf juga sebelumnya sudah banyak merepotkan
bapak. Walaupun nanti saya mati atau tidak, janji saya tetap saya tepati, pak.”
“Saya
bukan orang yang buta harta Kenny. Memang sudah pekerjaan saya untuk mambantu
membukakan pintu atau apapun yang terkunci. Walau kondisi saya yang sebelah
tangan dan tua ini, saya senang bisa membantu anda.” Ucapku dengan nada
bijaksana. Aku memang tidak buta akan harta, tapi jujur saja, ini pengalaman
pertama yang mungkin memoriku akan terus mengingatnya. Ditengah kondisi yang
tua dan sebatang kara ini, masih ada yang butuh pertolonganku. Terima kasih, Tuhan.
Segera kami berdua menuju ruangan
yang tertulis di dalam kotak besi itu. Ruangannya berada di dalam banker yang
tertutup rapat bertahun-tahun. Setelah menghancurkan gembok karatan yang
meguncinya, kami berdua turun ke dalamnya. Gelap memang. Lorong menuju
ruangannya hanya muat untuk dua orang. Seperti bekas tambang, berdinding
lembab, tapi entah tambang apa itu. Untung saja ada obor yang tertempel di
dinding lorong. Jarak antara pintu
banker kami masuk tadi dengan ruangan yang dituju berjarak dua puluh meter.
“Kenny, kuncinya”. Pintaku sambil menyulurkan
tangan. Dalam waktu lima detik, pintu itupun terbuka. Lagi-lagi kami kaget
dibuatnya. Bukan karena kunci dan secarik kertas lagi yang kami temukan,
melainkan emas. Ya, EMAS!!!
Ruangan
itu hanya berukuran 3x3 meter. Tapi yang membuat kami takjub adalah emasnya
yang memenuhi ruangan itu. Terdiri dari sepuluh tumpukan yang masing-masing
tumpukan dihiasi emas setinggi tiga meter. Langsung saja tubuhku kaku tak
menyangka apa yang sedang terjadi.
Kenny langsung menghampiriku dengen
mata berkaca-kaca tanda bahagia. “Terima kasih, pak. Sudah banyak membantu
saya. Ini kartu nama saya. Tiga minggu lagi saya akan memberi kabar ke bapak”.
***
Tiga
minggu setelah kejadian mengesankan itu, benar nyatanya apa yang Kenny katakan.
Seseorang datang ke rumahku. Pria berjas rapih (lagi) dan berkacamata. Tampak
seperti orang berpendidikan tinggi. Seorang pengacara rupanya.
“Pak
Soki? Saya Albert. Pengacara dari Pak Kenny. Ada kabar bahagia sekaligus sedih
yang diberikan Kenny untuk Bapak. Langsung saja bapak sendiri yang membacanya”.
Ucap orang itu sambil menyerahkan sepucuk surat kepadaku.
Dengan
tangan yang agak gemetar, lantas aku membacanya.
“Untuk
sahabat singkatku, pak Soki. Terima kasih Bapak sudah memecahkan masalah saya
tiga minggu yang lalu. Ibu saya pasti ikut bahagia dengan Bapak. Tapi maaf,
saya tidak bisa bertemu dengan Bapak karena jika Bapak membaca surat ini,
berarti nyawa saya sudah menyatakan bendera putih kepada penyakit kanker
paru-paru saya. Setelah kita berpisah, hanya sebagian dari emas-emas itu yang
saya gunakan untuk berobat. Tenang, pak Soki. Emas itu kini aman di tempat dia
berasal sebelumnya. Surat wasiat ini saya tulis untuk menyerahkan semua emas
milik saya untuk Bapak. Saya berharap ke depannya, bapak bukan hanya sebagai
tukang kunci yang membuat kunci cadangan, melainkan juga sebagai orang yang
membuka pintu bagi orang lain menuju ke arah yang lebih baik dengan semua
emas-emas itu. Sekali lagi terima kasih, pak. Anda orang yang baik”.
Air mata tak terasa mengalir
membasahi wajahku yang tua dan lugu ini. Sedih mengetahui orang yang memang
singkat, namun terasa sangat dekat sekali meninggalkan dunia ini. Sahabat
tersingkatku. Bukan dia yang seharusnya berterima kasih, melainkan aku. Aku
yang berterima kasih untuk semua hal yang menjauhkanku dari gelapnya sendiri.
Satu hal tambahan yang bisa kupetik adalah karena
aku tukang kunci, aku bisa menuntun orang lain membuka impiannya, bukan hanya
sebuah pintu, kotak, ataupun benda terkunci lainnya, melainkan impian. Ya,
impian. Impianku juga.
Post a Comment